A. Kedudukan Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam
SUNNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM KEDUA
Islam
sebagai agama mempunyai makna bahwa Islam memenuhi tuntutan kebutuhan
manusia di mana saja berada sebagai pedoman hidup baik bagi kehidupan
duniawi maupun bagi kehidupan sesudah mati. Dimensi ajaran Islam
memberikan aturan bagaimana caranya berhubungan dengan Tuhan atau
Khaliqnya, serta aturan bagaimana caranya berhubungan dengan sesama
makhluq, termasuk di dalamnya persoalan hubungan dengan alam sekitar
atau lingkungan hidup. Dalam perkembangan selanjutnya, dalam mengemban
tugas ini, manusia memerlukan suatu tuntunan dan pegangan agar dalam
mengolah alam ini mempunyai arah yang jelas dan tidak bertentang dengan
kehendak Allah. Islam sebagai ajaran agama yang diturunkan oleh Allah.
kepada umat manusia melalui Rasul-Nya adalah satu pegangan dan tuntunan
bagi manusia itu sendiri dalam mengarungi kehidupan ini.
Allah
mengutus para Nabi dan Rasul-Nya kepada ummat manusia untuk memberi
petunjuk kepada jalan yang lurus dan benara agar mereka bahagia dunia
dan akhirat. Rasululloh lahir ke dunia ini dengan membawa risalah Islam,
petunjuk yang benar. Hukum Syara‟ adalah khitab Syari’ (seruan Allah
sebagai pembuat hukum) baik yang sumbernya pasti (qath’i tsubut) seperti
Al-Qur‟an dan Hadis, maupun ketetapan yang sumbernya masih dugaan kuat
(zanni tsubut) seperti hadits yang bukan tergolong mutawatir.
Mengenai
kedudukan hadis sebagai sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur‟an,
seluruh umat Islam – kecuali sebagian kecil saja – sepakat tentangnya,
sehingga konsekwensinya adalah bahwa seluruh umat Islam tidak dibenarkan
hanya berpegang pada salah satu saja dari kedua sumber hukum tersebut,
yaitu al-Qur‟an dan al-Hadis, tetapi diwajibkan mengikuti hadis Nabi
sebagaimana kewajiban mereka dalam mengikuti al-Qur‟an.
Ketika membahas masalah ini, muncul sebuah pertanyaan yang
menurut kapasitas keilmuan penulis sangat sulit ditemukan jawabannya,
yaitu mengapa Allah tidak menjadikan petunjuk-Nya menjadi satu dalam
kitabullah (al-Qur‟an) saja, mengapa harus ada hadis sebagai bayan
(penjelas) bagi al-Qur‟an? Lama sekali penulis memikirkan jawaban dari
pertanyaan tersebut. Hingga akhirnya terbersit di dalam hati penulis
jawaban yang hingga kini belum juga dapat memuaskan hati, yaitu karena
Nabi saw sebagai uswah hasanah (suri tauladan). Sekiranya semua wahyu
Allah diturunkan dalam bentuk kitabullah, tanpa ada yang diturunkan
dalan bentuk hadis Nabi, maka manusia akan sulit sekali memahami
maksud-maksud teks wahyu tersebut. Misalnya, perintah shalat dan tata
caranya, ketika hanya diturunkan dalam bentuk teks wahyu, tanpa ada
contoh amali (perbuatan praktis) dari Nabi, maka kita akan kesulitan
memahaminya, lebih-lebih umat Islam yang non-Arab.
Begitu juga dengan
ajaran Islam tentang kemuliaan akhlak, jika Nabi hanya menyerukan wahyu
dalam bentuk teks saja tanpa beliau memberikan contoh tentang berakhlak
yang baik, maka tentu saja orang yang diseru tidak akan menerima ajaran
kebaikan dari orang yang tidak dapat memberi contoh tentang kebaikan
yang diajarkan tersebut.
Demikianlah Allah menurunkan wahyu-Nya
melalui dua bentuk, yaitu al-Qur‟an dan hadis Nabi yang menjadi
pelengkap kesempurnaan ajaran Islam. Adapun mengenai kedudukan hadis
sebagai sumber hukum, maka terdapat dua argumen yang membuktikan
keabsahannya, yaitu argumen naqli dan argumen aqli.
1. Argumen Naqli
a. Dalil Al-Qur,an
Al-Qur‟an
menerangkan bahwa kewajiban mentaati Allah menyebabkan kewajiban
mentaati Rasul-Nya, dan kewajiban mentaati Rasul-Nya menyebabkan
kewajiban mentaati risalah dan apa yang diajarkannya. Misalnya firman
Allah dalam surat al-Nisa‟ayat 136:
Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan
rasul-Nya dan kepada Kitab yang Allah turunkan kepada rasul-Nya serta
Kitab yang Allah turunkan sebelumnya. barangsiapa yang kafir kepada
Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari
Kemudian, Maka Sesungguhnya orang itu Telah sesat sejauh-jauhnya.
Ayat
tersebut menyerukan kepada kaum mukminin untuk beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya, juga kitab-kitab yang diturunkan kepada Rasul-Nya, serta
ancaman bagi orang-orang yang mengingkarinya.
Selain itu, Allah juga
memerintahkan untuk mentaati segala bentuk ajaran, baik berupa
perundang-undangan maupun peraaturan lain yang dibawa oleh Rasul-Nya,
baik larangan maupun perintah. Misalnya dalam surat al-Hasyr ayat 7
berikut:
Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan
apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.
Pada ayat yang lain, yaitu surat Ali Imran ayat 32
Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir".
Juga pada ayat 92 surat al-Maidah
Dan
taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul-(Nya) dan
berhati-hatilah. jika kamu berpaling, Maka Ketahuilah bahwa Sesungguhnya
kewajiban Rasul kami, hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan
terang.
Perintah mentaati Allah dan Rasul-Nya juga terdapat dalam ayat 54 surat al-Nur
Katakanlah:
"Taat kepada Allah dan taatlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling
Maka Sesungguhnya kewajiban Rasul itu adalah apa yang dibebankan
kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang
dibebankan kepadamu. dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat
petunjuk. dan tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan menyampaikan
(amanat Allah) dengan terang".
Pada setiap ayat di atas, perintah
mentaati Allah selalu disertai dengan perintah mentaati Rasul-Nya, hal
ini menunjukkan betapa ketaatan kepada Allah tidak mungkin tercapai
tanpa disertai dengan ketaatan kepada Rasul-Nya. Dan ketaatan kepada
Rasul harus dibuktikan dengan mematuhi sabda-sabdanya serta mengamalkan
ajaran-ajarannya, baik perintah maupun larangan.
Tentang ketaatan kepada Allah yang disambungkan dengan
ketaatan kepada Rasul pada ayat-ayat di atas, Quraisy Syihab
mengomentari sebagai berikut:
Sementara itu, ulama tafsir mengamati
bahwa perintah taat kepada Allah dan Rasul-Nya yang ditemukan dalam
Al-Quran dikemukakan dengan dua redaksi berbeda. Pertama adalah Athi’u
Allah wa al-Rasul, dan kedua adalah Athi’u Allah wa athi’u al-Rasul.
Perintah pertama mencakup kewajiban taat kepada beliau dalam hal-hal
yang sejalan dengan perintah Allah, karena itu, redaksi tersebut
mencukupkan sekali saja penggunaan kata athi’u. Perintah kedua mencakup
kewajiban taat kepada beliau walaupun dalam hal-hal yang tidak disebut
secara eksplisit oleh Allah dalam Al-Quran, bahkan kewajiban taat kepada
Nabi tersebut mungkin harus dilakukan terlebih dahulu – dalam kondisi
tertentu – walaupun ketika sedang melaksanakan perintah Allah,
sebagaimana diisyaratkan oleh kasus Ubay ibn Ka‟ab yang ketika sedang
shalat dipanggil oleh Rasul saw. Itu sebabnya dalam redaksi kedua di
atas, kata athi’u diulang dua kali, dan atas dasar ini pula perintah
taat kepada Ulu Al-’Amr tidak dibarengi dengan kata athi’u karena
ketaatan terhadap mereka tidak berdiri sendiri, tetapi bersyarat dengan
sejalannya perintah mereka dengan ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya.1
Menerima ketetapan Rasul saw. dengan penuh kesadaran dan kerelaan tanpa
sedikit pun rasa enggan dan pembangkangan, baik pada saat ditetapkannya
hukum maupun setelah itu, merupakan syarat keabsahan iman seseorang,
demikian Allah bersumpah dalam Al-Quran Surah Al-Nisa‟ ayat 65.
Kemudian beliau melanjutkan penjelasannya:
Tetapi,
di sisi lain, harus diakui bahwa terdapat perbedaan yang menonjol
antara hadis dan Al-Quran dari segi redaksi dan cara penyampaian atau
penerimaannya. Dari segi redaksi, diyakini bahwa wahyu Al-Quran disusun
langsung oleh Allah SWT. Malaikat Jibril hanya sekadar menyampaikan
kepada Nabi Muhammad saw., dan beliau pun langsung menyampaikannya
kepada umat, dan demikian seterusnya generasi demi generasi. Redaksi
wahyu-wahyu Al-Quran itu, dapat dipastikan tidak mengalami perubahan,
karena sejak diterimanya oleh Nabi, ia ditulis dan dihafal oleh sekian
banyak sahabat dan kemudian disampaikan secara tawatur oleh sejumlah
orang yang –menurut adat– mustahil akan sepakat berbohong. Atas dasar
ini, wahyu-wahyu Al-Quran menjadi qath‟iy al-wurud. Ini, berbeda dengan
hadis, yang pada umumnya disampaikan oleh orang per orang dan itu pun
seringkali dengan redaksi yang sedikit berbeda dengan redaksi yang
diucapkan oleh Nabi saw. Di samping itu, diakui pula oleh ulama hadis
bahwa walaupun pada masa sahabat sudah ada yang menulis teks-teks hadis,
namun pada umumnya penyampaian atau penerimaan kebanyakan hadis-hadis
yang ada sekarang hanya berdasarkan hafalan para sahabat dan
1 Perhatikan Firman Allah dalam QS 4:59.
tabi‟in. Ini menjadikan kedudukan hadis dari segi otensititasnya adalah zhanniy al-wurud.
Walaupun
demikian, itu tidak berarti terdapat keraguan terhadap keabsahan hadis
karena sekian banyak faktor - baik pada diri Nabi maupun sahabat beliau,
di samping kondisi sosial masyarakat ketika itu, yang topang-menopang
sehingga mengantarkan generasi berikut untuk merasa tenang dan yakin
akan terpeliharanya hadis-hadis Nabi saw.
Demikian pendapat Quraisy
Syihab tentang kewajiban taat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta
kedudukan hadis dalam hierarki syari‟at Islam. Dalam penjelasannya,
Quraisy Syihab tampak menunjukkan sikapnya yang rasional dalam
mendudukkan sunnah sesuai dengan tempatnya.
b. Dalil Hadis
Selain
kewajiban taat kepada Rasul serta menjadikan ajarannya sebagai pedoman
hidup dijelaskan di dalam al-Qur‟an, hal itu dijelaskan pula di dalam
beberapa riwayat hadis. Misalnya sabda beliau:
تشكت ف كٍى أيش ن تضهىا يا ت سًكتى به اً كتاب الله وس تُ بَ هٍ
“Aku
tinggalkan dua pusaka untuk kalian, yang kalian tidak akan tersesat
jika berpegang teguh pada keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnah
Rasul-Nya.”2
Di dalam hadis yang lain disebutkan:
...فعه كٍى بس تُ وس تُ انخهفاء انشاشذ اٌُن هًذ ,ٌٍٍ ت سًكىا بها وعضىا عه هٍا...
“Wajib
bagi kalian berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah khalifah yang
mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah kamu sekalian dengannya”.3
Ketika
Muadz bin Jabal di utus ke Negeri Yaman, sebelum berangkat ia ditanya
oleh Rasulullah saw. Rasul bertanya,”Bagaimana kamu akan memutuskan
suatu permasalahan yang dihadapkan kepadamu?” Muadz menjawab,”Saya akan
2 Jalaluddin ibn Abu Bakar Al-Suyuthi, Jami’us Shaghir. h.505.
3 Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dalam kitab Sunan, kitab Muqaddimah, hadis no.42.
memutuskannya berdasarkan kitab Allah.” Rasul
bertanya,”Seandainya kamu tidak mendapatkannya di dalam kitab Allah?”
Muadz menjawab,”Dengan sunnah Rasulullah.” Rasul bertanya,”Seandainya
kamu tidak menemukannya di dalam kitab Allah dan Sunnah Rasul?” Muadz
menjawab,”Saya akan berijtihad dengan pendapat saya sendiri. Maka
Rasulullah saw menepuk-nepuk dada Muadz dan berkata,”Segala puji bagi
Allah yang telah menempatkan utusan Rasul Allah sesuai dengan yang
diridhai Rasul Allah.” 4
Rasulullah saw memerintahkan kepada umatnya
untuk mengikuti sunnahnya, dan mencela orang yang meninggalkannya,
meskipun orang itu hanya menggunakan al-Qur‟an sebagai pegangan
hidupnya. Sabda beliau,”Pastilah hampir ada seseorang diantara kalian
yang duduk bersandar di tempat duduknya, yang datang kepadanya sebagian
perkaraku, yang aku diperintahkan atau dilarang, lalu berkata;”Aku tidak
tahu, apa yang bisa kami temukan di dalam kitabullah akan kami ikuti.”
Hadis-hadis di atas membuktikan wajibnya mentaati Rasul dan berpegang pada sunnahnya.
2. Argumen Aqli
Jumhur
ulama menyatakan bahwa as-sunnah memiliki kedudukan kedua setelah
al-Qur‟an . Dalam hal ini Al-Suyuti dan Al-Qasimi memberikan sebuah
pemikiran yang rasional dan tekstual. Adapun argumen tersebut ialah:
1.
Al-Qur‟an memiliki sifat qath’i al-wurud, sedang as-sunnah bersifat
zhanni al-wurud.5 Oleh sebab itu yang bersifat qath’i harus didahulukan.
2.
As-sunnah memiliki peran sebagai penjabaran al-Qur‟an. Ini harus
dipahami bahwa yang menjelaskan (as-sunnah) berkedudukan setingkat di
bawah yang menjelaskan (al-Qur‟an).
3. Adanya beberapa hadis dan
atsar yang memberikan keterangan tentang urutan dan kedudukan as-sunnah
setelah al-Qur‟an. Hal ini bisa di lihat dari dialog antara Nabi
4. Imam Abu Dawud dalam kitab Sunan, hadis no.3.592.
5. Yang dimaksud dengan zhanni al-wurud dalam konteks ini adalah hadis ahad, bukan hadis mutawatir.
dengan Mu‟az bin Jabal yang waktu itu diutus ke negeri Yaman
sebagai Qadli. Nabi bertanya: “Dengan apa kau putuskan suatu perkara?”.
Mu‟az menjawab, “Dengan Kitab Allah”. Jika tidak adanya nashnya, maka
dengan sunnah Rasulullah, dan jika tidak ada ketentuan dalam sunnah maka
dengan berijtihad.6
4. Al-Qur‟an berasal dari Allah sedang sunnah
atau hadis berasal dari hamba dan utusannya, maka selayaknya segala
sesuatu yang berasal dari Allah itu lebih tinggi kedudukannya dibanding
sesuatu yang berasal dari hamba-Nya.
Selain itu masih ada beberapa
poin lagi yang menjadi argumen aqli tentang kedudukan hadis sebagai
sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur‟an, yaitu:
a. Ijma’ Ulama
Berdasarkan
konsensus (ijma’), umat Islam dan para ulama mengamalkan sunnah selain
mengamalkan al-Qur‟an. Kesepakatan umat Islam dalam mempercayai,
menerima dan mengamalkan sunnah Rasul telah terjadi sejak masa beliau
masih hidup, dan dilanjutkan pada generasi Khulafa‟ Rasyidin dan pada
generasi berikutnya.hal ini dibuktikan dengan banaknya hafalan mereka
tentang hadis dan tersimpan kokoh di hati mereka, serta terjaga dengan
mengamalkannya dan mengajarkannya kepada generasi berikutnya hingga
hadis Nabi dapat menyebar dan diwarisi umat Islam sampai sekarang.
Secara
historis, ada banyak sekali peristiwa yang menunjukkan adanya
kesepakatan umat dalam menggunakan hadis sebagai sumber hukum Islam
kedua setelah al-Qur‟an, di antaranya adalah beberapa peristiwa sebagai
berikut:
Suatu ketika Abdurrahman bin Yazid pernahh melihat seorang
laki-laki yang melakukan ihram dengan menggunakan pakaian yang berjahit.
Kemudian Abdurrahman meminta agar orang itu melepas pakaiannya dan
mengikuti sunnah Nabi tentang cara berpakaian saat berihram. Kemudian
laki-laki tersebut berkata,”Coba bacakan kepada saya ayat al-Qur‟an yang
mengharuskan aku melepas pakaianku ini.” Abdurrahman
6. Meskipun
penulis memasukkan riwayat ini sebagai argumen naqli mengenai kedudukan
hadis, namun riwayat ini juga dapat dimasukkan sebagai argumen aqli yang
mendudukkan hadis pada peringkat kedua setelah al-Qur‟an.
kemudian membacakan firman Allah:”Apa saja yang diberikan
Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka
tinggalkanlah.”7
Ketika Imam Thawus mengerjakan shalat dua raka‟at
sesudah shalat asar, Ibnu Abbas yang menyaksikan hal itu
memperingatkan,”Tinggalkanlah shalat dua raka‟at itu.” namun Thawus
membantahnya, ia berpendapat bahwa larangan Rasulullah saw tentang
shalat dua raka‟at sesudah asar itu hanya karena beliau khawatir kalau
shalat dua raka‟at tersebut dianggap sebagai shalat sunnah. Jika dua
raka‟at dikerjakan tanpa niat, maka tidak apa-apa.8 Namun Ibnu Abbas
tetap berpegang kepada larangan Rasululullah saw yang melarang shalat
secara mutlak shalat sesudah shalat asar. Ibnu Abbas kemudian menegaskan
bahwa Thawus tidak mempunyai pilihan mengenai apa yang dibawa oleh
Rasulullah saw berdasarkan firman Allah:”Dan tidaklah patut bagi
laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin,
apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada
bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan barangsiapa
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah dia Telah sesat, sesat
yang nyata.”9
Ketika Abu Bakar menjadi khalifah, ia berkata,”Aku
tidak meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan oleh Rasulullah
saw, sesungguhnya saya takut tersesat bila meninggalkan perintahnya.”10
Abdullah bin Umar berkata,”Allah telah mengutus Nabi Muhammad saw kepada
kita dan kita tidak mengetahui sesuatu. Maka sesungguhnya saya makan
sebagaimana makannya Rasulullah saw, dan saya shalat sebagaimana
shalatnya Rasulullah saw.”11 Usman bin Affan pernah berkata,”Saya duduk
sebagaimana
7 Surat al-Hasyr ayat 7.
8 Pendapat ini senada dengan
pendapat beberapa ulama fiqih yang mengatakan bahwa yang dilarang
Rasulullah saw hanya shalat sunat ba‟diyah saja, sedangkan untuk shalat
yang sifatnya kondisional, misalnya seperti shalat Tahiyyatul-Masjid,
maka tidak mengapa dikerjakan sesudan shalat asar.
9 Surat al-Ahzab ayat 36.
10 Imam Abdullah Ahmad bin Hanbal. Musnad Ahmad bin Hanbal. (Beirut: Al-Maktab Al-Islamiy, t.t.). h. 164.
11 Ibid. Juz.8. h. 67.
duduknya Rasulullah saw, saya makan sebagaimana makannya
Rasulullah saw, dan saya shalat sebagaimana shalatnya Rasulullah saw.”12
Kiranya
contoh-contoh di atas cukup untuk menunjukkan bahwa mayoritas umat
Islam menjadikan hadis Nabi saw sebagai pedoman dalam hidup dan
beragama.
b. Hadis Sesuai dengan Petunjuk Akal
Pada bagian
sebelumnya penulis telah mengajukan sebuah pertanyaan, mengapa harus ada
hadis? Kemudian penulis menyampaikan pendapatnya bahwa karena uswah
(contoh-contoh) dalam menjalankan perintah Allah melalui kitabullah,
sangatlah diperlukan. Salah satu penyebabnya adalah karena tingkat
intelektual masyarakat pada waktu dimana al-Qur‟an turun, tidaklah sama.
Dan tentu saja perbedaan dalam hal itu akan terus berlangsung sepanjang
zaman. Sehingga Nabi bertugas memberikan bimbingan kepada umatnya untuk
mengamalkan ajaran agama ini sesuai dengan tingkat rasio yang bisa
dijangkau masing-masing sahabat beliau. Sehingga seringkali kita
dapatkan apabila ada dua orang atau dua kelompok yang saling
bertentangan dalam memahami risalah Islam, kemudian dihadapkan kepada
Nabi, maka beliau tidak langsung menyalahkan salah satunya, tetapi
membolehkan perbedaan tersebut dan membiarkan keduanya menjalankan
syari‟at sesuai dengan apa yang dipahaminya. Dengan demikian hadis
selalu sejalan dengan akal beserta segala kapasitasnya.
Seluruh
uraian di atas dimaksudkan memberi gambaran mengenai kedudukan dan
pentingnya menempatkan hadis sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah
al-Qur‟an. Sedangkan yang dimaksud hadis dalam konteks ini tentu saja
hadis yang shahih dan mutawatir.
B. Fungsi Hadis Terhadap Al-Qur’an
Menetapkan
hukum yang terdapat di dalam al-Qur‟an bertujuan untuk menunjukkan
bahwa masalah-masalah yang terdapat di dalam al-Qur‟an dan sunnah itu
sangat penting untuk diimani, dijalankan dan dijadikan pedoman dasar
oleh setiap muslim. Menempati posisi kedua setelah al-Qur‟an, sunnah
memiliki fungsi sebagai bayan
12 Ibid. Juz.1 . h.378.
(penjelas) atau penafsir yang dapat mengungkapkan tujuan dan
maksud-maksud al-Qur‟an. Firman Allah:”Dan Kami turunkan kepadamu
al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang diturunkan
kepada mereka dan supaya mereka berpikir.”13
Adapun penjelasan-penjelasan hadis terhadap al-Qur‟an diantaranya:
1. Bayan Al-Taqrir
Bayan
taqrir di sebut juga dengan bayan al-Ta’kid atau bayan al-Isbat, yaitu
sunah berfungsi untuk mengokohkan atau menguatkan apa yang telah
disebutkan di dalam al-Qur‟an. Bayan taqrir juga disebut sebagai bayan
al-muwafiq li al-nas al-kitab. Hal ini karena kemunculan hadis-hadis itu
senada atau searah dengan al-Qur‟an. Misalnya hadis riwayat al-Bukhari
sebagai berikut:
“Islam didirikan atas lima perkara: Bersaksi bahwa
tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah,
mendirikan shalat, membayar zakat, haji, dan berpuasa di bulan
Ramadhan.”14
Hadis ini mentaqrir ayat-ayat al-Qur‟an tentang syahadat
pada surat al-Hujurat ayat 15, shalat dan zakat dalam surat al-Nur ayat
56. Hadis ini juga sesuai dengan kandungan dalam surat al-Baqarah ayat
83 tentang kewajiban berpuasa Ramadhan, Ali Imran ayat 97 tentang haji,
dan ayat-ayat lainnya yang senada dengan hadis tersebut.
Contoh berikutnya adalah hadis-hadis tentang berpuasa apabila melihat hilal sebagai berikut:
“Janganlah
kamu berpuasa hingga kamu melihat bulan (hilal), dan janganlah kamu
berbuka hingga kamu melihatnya. Dan jika terjadi gelap terhadapmu, maka
13 Q.S. al-Nahl: 44.
14 Shahih al-Bukhari. Kitab al-Adzan, hadis no.8.
perkirakanlah bulan itu.”15 Juga hadis “Apabila kalian
melihat hilal, maka berpuasalah, dan jika kalian melihatnya maka
berbukalah.”16
Hadis-hadis tersebut mentaqrir ayat 185 surat
al-Baqarah sebagai berikut:”(beberapa hari yang ditentukan itu ialah)
bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran
sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai
petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu,
barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan
itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu….
Contoh yang lain
adalah hadis riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah:”Tidak diterima shalat
orang yang berhadas sebelum ia berwudhu.”17
Hadis ini mentaqrir ayat
6 surat al-Maidah:”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak
mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan
siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata
kaki.”
2. Bayan Al-Tafsir
Yang dimaksud dengan bayan al-tafsir
adalah penjelasan hadis terhadap ayat-ayat yang memerlukan perincian
atau penjelasan lebih lanjut, seperti pada ayat-ayat yang mujmal, mutlak
dan „amm. Maka fungsi hadis dalam hal ini adalah memberikan perincian
(tafshil) dan penafsiran terhadapayat-ayat al-Qur‟an yang masih mujmal,
memberikan taqyid atas ayat-ayat yang masih mutlaq, serta memberikan
takhshish atas ayat-ayat yang masi umum.
a. Bayan Tafshil (Merinci Ayat-ayat Mujmal)
15 Shahih al-Bukhari. Kitab al-Shaum. Hadis no. 1773.
16 Shahih Muslim. Kitab al-Syiyam. Hadis no. 1798.
17 Shahih al-Bukhari. Kitab Thaharah. Hadis no.135.
Yang dimaksud dengan bayan tafshil ialah, bahwa sunnah itu
menjelaskan atau memperinci ke-mujmal-an al-Qur‟an, karena al-Qur‟an
bersifat mujmal (global) maka agar dia dapat berfungsi kapan saja dan
dalam keadaan apa saja diperlukan perincian, maka dari itulah fungsi
sunnah sangat diperlukan.
Misalnya fungsi sunnah sebagai bayan
tafshil yaitu masalah perintah shalat, mengeluarkan zakat, melaksanakan
haji dan qishash. Perintah untuk melakukan hal-hal di atas, secara
gamblang dapat terdapat di dalam al-Qur-an. Namun teknik operasional
dari hal-hal tersebut tidak dijelaskan dalamal-Qur‟an, akan tetapi
didapati dalam hadis-hadis Nabi.
Dalam permasalahan shalat misalnya,
wa aqimu shalat (dirikanlah shalat) merupakan perintah oleh Allah kepada
manusia untuk melaksanakan shalat, bahkan menurut para ulama, kalimat
tersebut merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan, tetapi tata cara
dan bilangan rakaatnya tidak diperjelas dalam al-Qur‟an, oleh sebab itu
muncullah hadis yang menjelaskan bagaimana pelaksanaan shalat,
sebagaimana hadis:
صهىاك اًء أ تٌ ىً اصهى
”Shalatlah kamu
sebagaimana kamu melihat aku mengerjakan shalat.” Begitu pula hal-hal
yang berkenaan dengan shalat, misalnya shalatnya orang yang muqim,
bepergian, dalam keadaan perang, dalam keadaan sakit, maupun yang
lainnya. Secara syarat, rukun serta praktek pelaksanaannya, semua
dijelaskan oleh Rasulullah saw di dalam hadis.
b. Bayan Taqyid (Mentaqyid Ayat-ayat yang Mutlaq)
Kata
mutlaq berarti kata yang menunjuk pada hakekat kata itu sendiri apa
adanya, dengan tanpa memandang kepada jumlah maupun sifatnya. Mentaqyid
yang mutlaq artinya membatasi ayat-ayat yang mutlaq dengan sifat,
keadaan, atau syarat-syarat tertentu. Misalnya sabda Nabi saw yang
mentaqyid ayat yang mutlaq adalah:
لا تمطع ذٌ انساسق إلا ف سبع د اٌُس فصاعذا
“Tangan pencuri tidak boleh dipotong, kecuali pada pencurian senilai seperempat dinar atau lebih.”18
- Hadis ini mentaqyid ayat 38 surat al-Maidah.
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri maka potonglah
tangan keduanya sebagai pembalasan atas apa yang mereka perbuat dan
sebagai siksaan dari Allah…”
c. Bayan Al-Takhshish (Mengkhususkan Ayat-ayat yang Bersifat Umum)
Selain
bersifat umum mujmal (global), al-Qur‟an juga memiliki ayat-ayat yang
bersifat umum, dari sini fungsi sunnah adalah mengkususkan. Perbedaannya
dengan bayan tafshil ialah kalau bayan tafshil, sunnah berfungsi
sebagai penjelas yang kelihatan tidak ada pertentangan, sedangkan pada
bagian takhsish ini di samping sunnah sebagai bayan, juga
antaraal-Qur‟an dan sunnah secara lahiriah nampak ada pertentangan.
Adapun contoh sunnah yang men-takhsish-kan al-Qur‟an adalah :
a.
Dalam al-Qur‟an dikatakan bahwa setiap orang dihalalkan menikahi
wanita-wanita bahkan juga berpoligami, tetapi dalam hadis dikatakan:
لا جٌ عً ب ان شًأ وع تًها ولاب ان شًأة وخانتها
”Tidak
boleh seorang mengumpulkan (memadu) seorang wanita dengan ’ammah
(saudara bapaknya), dan seorang wanita dengan khalah (saudara
ibu)nya”.19
Dan juga dalam hadis :
18 Shahih Muslim. Kitab Hudud. Hadis no.3190.
19 Shahih Muslim. Kitab al-Nikah. Hadis no.2517.
ا الله حشو ي انشضاعت ياحشو ي انىلادة .
”Sesungguhnya Allah
mengharamkan mengawini seseorang karena sepersusuan, sebagaimana halnya
Allah telah mengharamkannya karena senasab”.20
Dari uraian di atas,
dapat dipahami bahwa al-Qur‟an mengemukakan hukum atau aturan-aturan
yang bersifat umum, yang kemudian dikhususkan dengan sunnah.
b. Dalam
al-Qur‟an dikatakan bahwa anak-anak dapat mewarisi orang tuanya dan
keluarganya, hal itu dijelaskan dalam surat an-Nisa ayat 11:
ىٌُصِ
كٍُىُ ه اللهُ فِ أَوْلادِكُىْ نِه ه زكَشِ يِثْمُ حَظِّ الأ ثََْ “Allah
mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu,
(yaitu) bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak
perempuan.”
Ayat tersebut menjelaskan bahwa setiap anak berhak
mendapat harta pusaka (ahli waris) dan bagian laki-laki dua kali bagian
anak perempuan, kemudian ayat ini dikhususkan dengan sunnah yang
berbunyi:
لا شٌث ان سًهى انكافشولاانكافشان سًهى
”Seorang muslim tidak boleh mewarisi harta si kafir dan si kafir pun tidak boleh mewarisi harta si muslim”.21
Begitu juga dalam hadis:
لا شٌث انماتم ي ان مًتىل ش عٍا
20 Sunan Tirmidzi. Kitab al-Radha’. Hadis no.1066.
21 Shahih Bukhari. Kitab al-Fara’id. Hadis no. 6267.
”Seorang pembunuh tidak mewarisi harta orang yang dibunuh”.22
3. Bayan Al-Tasyri’
Yang
dimaksud dengan bayan tasyri‟ adalah penjelasan tasyri‟ yang berupa
mengadakan, mewujudkan, atau menetapkan suatu hukum atau aturan-aturan
syara‟ yang tidak terdapat dalam al-Qur‟an. Rasulullah saw berusaha
menunjukkan suatu hukum dengan cara menjawab pertanyaay-pertanyaan yang
diajukan para sahabat yang tidak didapati jawabannya dalam al-Qur‟an.
Sebagai contoh dalam masalah ini adalah hadis tentang zakat fitrah sebagai berikut:
فشض
سسىل الله صهى الله عه هٍ و سهى صكاة انفطش ي سيضا عهى ان اُس صاعا ي ت شً
أو صاعا ي شع شٍ عهى كمّ حشّ أو عبذ ركش أو أ ثَى ي ان سًهًٍٍ
“Rasulullah
saw telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan Ramadhan
satu sha’ kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba
sahaya, laki-laki atau perempuan.”23
Selain hadis hadis tersebut,
masih ada beberapa hadis lagi yang termasuk ke dalam kelompok hadis yang
menyandang fungsi sebagai bayan tasyri’, misalnya hadis tentang
penetapan haramnya mengumpulkan dua wanita bersaudara (antara istri
dengan bibinya), hukum syif’ah, hukum merajam pezina wanita yang masih
perawan, hukum membasuh bagian sepatu dalam berwudhu, hukum tentang
ukuran zakat fitrah, dan hukum tentang hak waris bagi seorang anak.24
Bayan
ini oleh sebagian ulama disebut juga sebagaibayan zaid „ala al-Kitab
al-Karim (tambahan terhadap nask al-Qur‟an).25 Disebut tambahan karena
sebenarnya di
22 H.R. al-Nasa‟i, hadis ini juga diriwayatkan oleh
Ibnu Majah dengan lafal yang berbeda (lihat Sunan Ibnu Majah, kitab
Diyat. Hadis no.2635). lihat juga riwayat dalam Sunan Tirmidzi. Kitab
al-Fara’id. Hadis no.2035.
23 Shahih Muslim. Kitab Zakat. Hadis no.1.636.
24 Musthafa As-Siba‟i. Sunnah, Op.Cit. h.346.
25 Abbas Mutawali Hamadah. As-Sunnah Al-Nabawiyah wa Makanatuha fi Tasyri’. (Kairo: Dar Al-Qoumiyah Al-Nasyr, 1965). h.434.
dalam al-Qur‟an sendiri telah terdapat ketentuan-ketentuan
pokoknya. Misalnya hadis tentang diyat, dalam al-Qur‟an masalah ini
telah ditemukan ketentuan pokoknya, yaitu pada surat al-Nisa‟ ayat 92.
Begitu juga hadis tentang haramnya binatang buas dan keledai jinak,
ketentuan pokoknya telah ada dalam surat al-A‟raf ayat 157. Berdasarkan
hal tersebut tampaknya terbukti apa yang dikatakan oleh Abu Zahrah bahwa
tidak ada satu hadis pun yang berdiri sendiri, yang tidak ditemukan
aturan pokoknya dalam al-Qur‟an.26
Hadis Rasulullah saw yang termasuk
dalam bayan tasyri‟ ini wajib diamalkan sebagaimana wajibnya
mengamalkan hadis-hadis yang lainnya. Ibnu Qayyim berkata,”Hadis Nabi
yang berupa tambahan terhadap al-Qur‟an merupakan kewajiban atau aturan
yang harus ditaati, tidak boleh menolak atau mengingkarinya, dan
bukanlah sikap Rasul itu mendahului al-Qur‟an, melainkan semata-mata
karena perintah-Nya.”27
4. Bayan Al-Naskh
Ketiga bayan yang telah
disebut dan diuraikan di atas tampaknya disepakati oleh para ulama,
meskipun untuk bayan yang ketiga sedikit dipermasalahkan.28sedangkan
untuk bayan yang terakhir ini, yaitu bayan naskh, terdapat banyak sekali
perbedaan pendapat. Di antara ulama ada yang mengakui dan menerima
fungsi hadis sebagai nasikh dan ada banyak yang menolaknya. Dalam
beberapa literatur didapati para ulama mutakalimin seperti Mu‟tazilah
dan Asy‟ariyah, ulama Malikiyah, Hanafiyah, Ibnu Hazm serta sebagian
ulama Zahiriyah. Sedangkan mereka yang menolaknya diantaranya ialah
As-Syafi‟i dan mayoritas pengikutnya, juga mayoritas ulama dari kelompok
Zahiriyah.
Di antara para ulama baik mutaqaddimin maupun
muta’akhirin terdapat perbedaan pendapat dalam mendefinisikan bayan
nasakh ini. Perbedaan pendapat ini terjadi karena
26 Muhammad Abu Zahrah. Ushul Fiqh. (Dar Al-Fikr, t.t.). h.112.
27 Ibnu Qayyim Al-Jauzi. I’lam al-Muwaqi’in. (Mesir: Matba‟ah al-Sa‟adah, 1955). Jilid 2, h.289.
28
Penulis termasuk dalam pihak yang mempermasalahkan bayan yang ketiga
ini. Karena menurut hemat penulis, kewajiban mentaati hadis sebagai
bayan tasyri‟ perlu mempertimbangkan aspek maqashid syari’ah
(tujuan-tujuan pensyari‟atan), artinya kewajiban tersebut tidak hanya
berpegang pada teks hadis semata, tetapi harus mempertimbangkan situasi
dan kondisi serta tujuan-tujuan Rasulullah memerintahkan atau melarang
suatu perkara dengan hadis semacam ini.
perbedaan mereka dalam memahami makna nasakh dari sudut
kebahasaan.29 Menurut ulama metaqaddimin, bahwa bayan nasakh adalah
adanya dalil syara‟ yang datangnya kemudian.
Berdasarkan pengertian
tersebut, maka ketentuan yang datang kemudian dapat menghapus ketentuan
yang datang terdahulu. Kelompok ulama yang membolehkan hadis menasakh
al-Qur‟an berpendapat bahwa hadis sebagai ketentuan yang datang kemudian
daripada al-Qur‟an dalam hal ini dapat menghapus ketentuan isi
kandungan al-Qur‟an. Demikian pendapat ulama yang menganggap adanya
fungsi bayan nasakh.
Kelompok ulama yang membolehkan adanya nasakh
hadis terhadap al-Qur‟an, mereka berbeda pendapat mengenai macam hadis
yang dapat dipakai me-nasakh-nya. Pertama, kelompok yang membolehkan
me-nasakh al-Qur‟an dengan segala macam hadis, meskipun hadis ahad.
Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Hazm, sebagian pengikut Zahiriyah,
serta para ulama mutaqaddimin. Menurut mereka, meskipun hadis ahad hanya
bisa menimbulkan zhan (sangkaan), namun tetap bisa menasakh al-Qur‟an.
Karena mereka memahami arti nasakh dalam berbagai bentuk, sekalipun
tafshil atas yang mujmal, takhshish atas yang „amm, dan taqyid atas yang
mutlaq. Semua bentuk bayan tersebut dianggap sebagai nasakh menurut
Ibnu Hazm dan golongan yang sepakat dengannya. Dan Rasulullah saw
mempunyai tugas untuk menjelaskan al-Qur‟an, bahkan mereka percaya bahwa
nasakh terjadi atas ayat-ayat al-Qur‟an dalam jumlah yang sangat besar.
Kedua,
kelompok yang membolehkan dengan syarat bahwa hadis yang me-nasakh
haruslah hadis mutawatir. Pendapat ini dikemukakan oleh kaum Mu‟tazilah.
Alasan mereka adalah karena al-Qur‟an adalah mutawatir dari segi
lafalnya, maka dari itu yang mutawatir hanya bisa dinasakh dengan yang
mutawatir pula.
29 Sebagaimana yang telah penulis jelaskan pada bab
sebelumnya, kata nasakh memiliki beberapa makna secara bahasa. Kata
tersebut dapat berarti izalah (menghilangkan), ibdal (membatalkan),
taghyir (mengubah) atau tahwil (memindahkan).
Dan ketiga, kelompok ulama yang membolehkan me-nasakh dengan
hadis masyhur, tanpa harus dengan hadis mutawatir. Pendapat ini
dikemukakan oleh para ulama Hanafiyah.karena mereka memahami makna
nasakh secara sederhana, yaitu apa yang datang kemudian dapat merubah
hukum yang terdahulu.
Salah satu contoh yang dapat diajukan oleh
kelompok yang mengakui adanya fungsi bayan nasakh adalah sabda Nabi saw
sari Abu Umamah al-Bahili yang berbunyi:
إ الله لذ أعطى كم ري حك حمه فلا وص تٍ نىاسث
“Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada tiap-tiap orang haknya (masing-masing). Maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.”30
Hadis
ini menurut mereka yang mengakui adanya bayan nasakh, me-nasakh hukum
wasiat bagi kedua orang tua dan kerabat yang terdapat dalam surat
al-Baqarah ayat 180 berikut,”Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di
antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta
yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara
ma'ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”
Adapun
kelompok yang tidak sepakat tentang nasakh hadis terhadap al-Qur‟an,
mereka berargumen berdasarkan surat Yunus ayat 15 berikut:
Dan
apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat kami yang nyata, orang-orang
yang tidak mengharapkan pertemuan dengan kami berkata: "Datangkanlah Al
Quran yang lain dari ini atau gantilah dia". Katakanlah: "Tidaklah patut
bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikut
kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya Aku takut jika
mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar (kiamat)".
Ayat
tersebut merupakan penegasan dari Allah bahwa Dia mewajibkan kepada Nabi
untuk mengikuti semua yang diwahyukan kepadanya, dan melarang untuk
merubah (me-
30 Hadis diriwayatkan oleh Ahmad dan Arba‟ah, kecuali al-Nasa‟i. hadis ini dinilai hasan oleh Ahmad dan Tirmidzi.
nasakh) dari pihak dirinya sendiri. Inilah argumen yang
dikemukakan oleh As-Syafi‟i dan di dukung oleh mayoritas madzhab
Zahiriyah. Berdasarkan ayat ini, mereka tidak sepakat menasakh al-Qur‟an
dengan hadis, meskipun dengan hadis mutawatir.
Selanjutnya
As-Syafi‟i menegaskan bahwa mengenai firman Allah dalam surat al-Baqarah
ayat 106: “Apa saja yang Kami nasakh atau Kami jadikan manusia lupa
kepadanya, maka Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang
sebanding dengannya.” Ayat ini menurutnya menjelaskan bahwa yang
mendatangkan yang lebih baik atau yang sebanding itu adalah Allah,
karena dhamir-nya kembali kepada-Nya. Dan mendatangkan yang lebih baik
itu maksudnya adalah me-nasakh al-Qur‟an dengan al-Qur‟an, karena sunnah
tidak sebanding dengan al-Qur‟an, dan sunnah tidak lebih baik dari
al-Qur‟an.
Penulis tampaknya sepakat dengan pendapat yang terakhir,
yakni pendapat yang melarang me-nasakh al-Qur‟an dengan hadis. Selain
sepakat dengan argumen As-Syafi‟i tersebut, penulis mengaggap masalah
nasikh-mansukh adalah masalah tauqifi, artinya bukan wilayah ijtihad
yang boleh diperdebatkan. Untuk menentukan mana yang nasikh dan mana
yang mansukh harus berdasarkan dalil al-Qur‟an dan hadis yang shahih.
Selama tidak ada keterangan dari keduanya, maka tidak sepatutnya kita
mengatakan bahwa ini mansukh dan ini yang menasakh. Karena me-nasakh
hukum syari‟at adalah hak Allah, bukan hak manusia, bahkan Rasul pun
tidak mempunyai hak untuk itu. selain itu, kurang tepat kiranya
menyamakan bayan tafshil, taqyid dan takshish dengan bayan nasakh,
karena masing-masing mempunyai implikasi hukum yang berbeda.
C. Pandangan Ulama Tentang Kemandirian Hadis Dalam Menetapkan Hukum
Al-Qur‟an
menekankan bahwa Rasul saw berfungsi menjelaskan maksud firman-firman
Allah.31 Penjelasan atau bayan tersebut dalam pandangan sekian banyak
ulama beraneka ragam bentuk dan sifat serta fungsinya. Abdul Halim
Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar, dalam bukunya Al-Sunnah Fi Makanatiha Wa
Fi Tarikhiha menulis bahwa sunnah mempunyai fungsi yang berhubungan
dengan al-Qur‟an dan fungsi sehubungan
31 Q.S. Al-Nahl:44.
dengan pembinaan hukum syara‟. Dengan menunjuk kepada
pendapat As-Syafi‟i dalam al-Risalah, Abdul Halim Mahmud menegaskan
bahwa, dalam kaitannya dengan al-Qur‟an, ada dua fungsi Sunnah yang
tidak di perselisihkan, yaitu apa yang diistilahkan oleh sementara ulama
dengan bayan ta’kid dan bayan tafsir. Yang pertama sekedar menguatkan
atau menggarisbawahi kembali apa yang terdapat di dalam al-Qur‟an,
sedangkan yang kedua memperjelas, merinci, bahkan membatasi, pengertian
lahir dari ayat-ayat al-Qur‟an.
Persoalan yang di perselisihkan
adalah, apakah hadis atau sunnah dapat berfungsi menetapkan hukum baru
yang belum ditetapkan dalam al-Qur‟an? Para ulama dalam menanggapi
masalah ini, terbagi menjadi dua kelompok, pertama, kelompok yang
mengatakan bahwa sunnah mempunyai kewenangan di dalam menetapkan suatu
hukum, baik sunnah yang berfungsi sebagai penjelas terhadap al-Qur‟an
maupun sunnah yang berfungsi sebagai penetap dan pembentuk hukum,
meskipun tidak ada dalil yang menjelaskannya di dalam al-Qur‟an. Kedua,
ulama yang berpendapat bahwa sunnah tidak mempunyai kewenangan di dalam
menetapkan suatu hukum, kecuali ada dalilnya dalam al-Qur‟an. Ini
berarti mustahil bagi Rasul untuk melakukan suatu perbuatan syar‟i yang
tidak berdasarkan pada al-Qur‟an.
Kelompok yang menyetujui
mendasarkan pendapatnya pada „ishmah (keterpeliharaan Nabi dari dosa dan
kesalahan, khususnya dalam bidang syariat) apalagi sekian banyak ayat
yang menunjukkan adanya wewenang kemandirian Nabi saw untuk ditaati.
Selain itu, kelompok ini juga berargumen dengan adanya kewajiban untuk
mentaati dan mengikuti Rasulullah saw sebagaimana yang telah
diperintahkan Allah dalam beberapa firman-Nya. Firman Allah dalam surat
al-Nisa‟:80 misalnya,”Barang siapa yang mentaati Rasul, maka
sesungguhnya ia telah mentaati Allah.” Ayat ini menegaskan bahwa
mentaati Rasul adalah identik dengan mentaati Allah. Juga firman Allah
dalam sirat al-Hasyr:7, ”Apa saja yang diberikan Rasul kepadamu
terimalah dia, dan apa saja yang dilarangnya bagimu tinggalkanlah.”
Allah telah memberikan kekhususan kepada Rasul-Nya dengan memberikan
sesuatu yang harus ditaati dan tidak boleh didurhakai, yaitu sunnah yang
beliau bawa dan tidak terdapat dalam al-Qur‟an.
Kelompok yang menolaknya berpendapat bahwa sumber hukum hanya
Allah, Inn al-hukm illa lillah, sehingga Rasul pun harus merujuk kepada
Allah swt (dalam hal ini al-Qur‟an), ketika hendak menetapkan hukum.
Lebih lanjut mereka mengatakan bahwa sunnah Rasul tidak lain hanyalah
sekedar penjelasan terhadap tuntunan yang diterima dari Allah swt,
sebagaimana penjelasan beliau tentang tata cara shalat, ketentuan hukum
jual beli serta hukum syara‟ yang lainnya. Ketentuan-ketentuan hukum itu
secara keseluruhan telah ada di dalam al-Qur‟an baik secara global
maupun secara terperinci. Adapun firman Allah yang menjelaskan tentang
kewajiban taat kepada Rasulullah saw seperti dalam Q.S. al-Nisa‟:80 yang
dijadikan dasar bagi ulama yang mengakui atas kemandirian sunnah,
merupakan kewajiban untuk mentaati segala penjelasan dan semua
keterangannya.32
Kalau persoalannya hanya terbatas seperti apa yang
dikemukakan di atas, maka jalan keluarnya mungkin tidak terlalu sulit,
apabila fungsi Al-Sunnah terhadap Al-Quran didefinisikan sebagai bayan
murad Allah (penjelasan tentang maksud Allah) sehingga apakah ia
merupakan penjelasan penguat, atau rinci, pembatas dan bahkan maupun
tambahan, kesemuanya bersumber dari Allah SWT. Ketika Rasul saw.
melarang seorang suami memadu istrinya dengan bibi dari pihak ibu atau
bapak sang istri, yang pada zhahir-nya berbeda dengan nash ayat Al-Nisa'
ayat 24, maka pada hakikatnya penambahan tersebut adalah penjelasan
dari apa yang dimaksud oleh Allah SWT dalam firman tersebut.
Tentu,
jalan keluar ini tidak disepakati, bahkan persoalan akan semakin sulit
jika Al-Quran yang bersifat qathi'iy al-wurud itu diperhadapkan dengan
hadis yang berbeda atau bertentangan, sedangkan yang terakhir ini yang
bersifat zhanniy al-wurud. Disini, pandangan para pakar sangat beragam.
Muhammad Al-Ghazali dalam bukunya Al-Sunnah Al-Nabawiyyah Baina Ahl
Al-Fiqh wa Ahl Al-Hadits, menyatakan bahwa "Para imam fiqih menetapkan
hukum-hukum dengan ijtihad yang luas berdasarkan pada Al-Qur‟an terlebih
dahulu. Sehingga, apabila mereka menemukan dalam tumpukan riwayat
32 Dr. Ahmad Umar Hasyim. Al-Sunnah al-Nabawiyah wa Ulumuha. (t.tp.Maktabah Gharib.t.t.). h.35.
(hadis) yang sejalan dengan Al-Quran, mereka menerimanya,
tetapi kalau tidak sejalan, mereka menolaknya karena Al-Quran lebih
utama untuk diikuti."
Pendapat di atas, tidak sepenuhnya diterapkan
oleh ulama-ulama fiqih. Yang menerapkan secara utuh hanya Imam Abu
Hanifah dan pengikut-pengikutnya. Menurut mereka, jangankan membatalkan
kandungan satu ayat, mengecualikan sebagian kandungannya pun tidak dapat
dilakukan oleh hadis. Pendapat yang demikian ketat tersebut, tidak
disetujui oleh Imam Malik dan pengikut-pengikutnya. Mereka berpendapat
bahwa hadis dapat saja diamalkan, walaupun tidak sejalan dengan
Al-Quran, selama terdapat indikator yang menguatkan hadis tersebut,
seperti adanya pengamalan penduduk Madinah yang sejalan dengan kandungan
hadis dimaksud, atau adanya ijma' ulama menyangkut kandungannya. Karena
itu, dalam pandangan mereka, hadis yang melarang memadu seorang wanita
dengan bibinya, haram hukumnya, walaupun tidak sejalan dengan lahir teks
ayat Al-Nisa' ayat 24.
Imam Syafi'i, yang mendapat gelar Nashir
Al-Sunnah (Pembela Al-Sunnah), bukan saja menolak pandangan Abu Hanifah
yang sangat ketat itu, tetapi juga pandangan Imam Malik yang lebih
moderat. Menurutnya, Al-Sunnah, dalam berbagai ragamnya, boleh saja
berbeda dengan Al-Quran, baik dalam bentuk pengecualian maupun
penambahan terhadap kandungan Al-Quran. Bukankah Allah sendiri telah
mewajibkan umat manusia untuk mengikuti perintah Nabi-Nya?
Harus
digarisbawahi bahwa penolakan satu hadis yang sanadnya sahih, tidak
dilakukan oleh ulama kecuali dengan sangat cermat dan setelah
menganalisis dan membolak-balik segala seginya. Bila masih juga
ditemukan pertentangan, maka tidak ada jalan kecuali mempertahankan
wahyu yang diterima secara meyakinkan (al-Quran) dan mengabaikan yang
tidak meyakinkan (hadis).
Dalam masalah ini, penulis memandang bahwa
perbedaan dari kedua kelompok yang berselisih di atas bertolak dari
pemahaman bahwa sunnah yang tidak ditemukan dasarnya di dalam al-Qur‟an
di anggap tidak sejalan dengan al-Qur‟an. Oleh karena tidak sejalan,
maka tidak boleh diamalkan meskipun kelompok yang lainnya membolehkan
mengamalkannya. Hal ini tentu saja perlu diluruskan. Karena
suatu ajaran Rasul saw tidak boleh dikatakan bahwa ajaran itu tidak
didapatkan dasarnya di dalam al-Qur‟an dan tidak dapat dikatakan tidak
sejalan dengan al-Qur‟an. Sebagaimana yang tertera di dalam al-Qur‟an,
dasar perintah dan larangan bersifat global dan universal. Seperti
kewajiban shalat, di dalam al-Qur‟an hanya dijumpai perintah wajibnya
shalat, sedangkan jumlah raka‟atnya tidak dapat dicari dalam al-Qur‟an.
Juga kewajiban zakat dalam al-Qur‟an, tidak ditemukan
ketentuan-ketentuan yang jelas tentang macam-macan jenis harta yang
wajib dizakati, juga jumlah zakat dari berbagai jenis harta yang wajib
dizakati. Semua ketentuan tersebut hanya diperoleh dari sunnah
Rasulullah saw.
Jumlah raka‟at dalam shalat, macam dan jenis harta
yang wajib dizakati, beserta jumlah zakat yang harus dikeluarkan, semua
ketentuan dari Rasul tersebut tidak dapat dikatakan tidak sejalan dengan
al-Qur‟an, tetapi justru sebagai penjelas melalui uswah Rasulullah saw.
Sekiranya contoh-contoh dari Rasulullah tersebut tidak dapat diamalkan,
lantas darimana kita mengetahui tata cara menjalankan perintah shalat
dan zakat? Selain itu tidak tepat juga dikatakan bahwa dalam hal ini
sunnah bersifat mandiri sebagai sumber hukum syara‟, tetapi yang benar
adalah sunnah muncul karena kebutuhan manusia untuk memahami dan
menjalankan perintah dan larangan Allah dalam al-Qur‟an.
Daftar Pustaka
Al-Jauzi, Ibnu Qayyim. I’lam al-Muwaqi’in. Matba‟ah al-Sa‟adah, Mesir, Jilid 2, 1955.
Hamadah, Abbas Mutawali. As-Sunnah Al-Nabawiyah wa Makanatuha fi Tasyri’. Dar Al-Qoumiyah Al-Nasyr, Kairo, 1965.
Hasyim, Ahmad Umar. Al-Sunnah al-Nabawiyah wa Ulumuha. Maktabah Gharib, t.tp. t.t.
Ibnu Hanbal, Imam Abdullah Ahmad. Musnad Ahmad bin Hanbal. Al-Maktab Al-Islamiy, Beirut, t.t.
Zahrah, Muhammad Abu. Ushul Fiqh. Dar Al-Fikr, t.t. t.th